Mohon Maaf, Artikel dalam Blog Ini Akan Kami Lanjutkan Pada Blog Kami Lainnya. Bagi Anda yang Berkenan Membaca Artikel Ekonomi Islam, Mari Berkunjung di artikelekis.blogspot.com. Blog Baru Kami, Insy akan Difokuskan untuk Membahas Seputar Ekonomi Islam. Mulai Saat Ini, Blog Ini Tidak Akan Kami Update.
Saturday, February 4, 2012

REVIEW : ISLAM SEBAGAI ILMU Epistemologi, Metodologi, dan Etika


Reliability of the Material
Diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu modern sudah berlangsung cukup lama, bahkan sudah berumur lebih dari satu abad jika saja hal itu dihitung sejak Ernest Renan mengangkat polemic tentang wahyu dan akal pada 1883. Puncak perbincangan mengenai hal tersebut, akhirnya sampai pada pemikiran Isma’il Raji Al-Faruqi yakni “Islamisasi Pengetahuan”. Pada dasarnya berintikan sebagai upaya untuk mengembalikan pengetahuan kepada asal muasalnya, yakni kepada
agama, kepada keimanan, dan lebih khusus lagi kepada tauhid.
Dalam konteks tersebut, pemikiran kuntowijoyo antitesis bagi pemikiran-pemikiran mainstream yang berkembang pada saat itu. Hingga saat ini, “Islam sebagai ilmu” masih menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Dalam forum-forum ilmiah, banyak yang menggunakan pemikiran tersebut.
Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.
Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980.
Ia banyak menulis buku tentang sejarah, budaya, filsafat, dan sastra, di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Khotbah di Atas Bukit, dan Impian Amerika. Selain itu, ia juga sering menulis cerita pendek dan esai di surat kabar[1].

Pembahasan
Latar belakang lahirnya buku ini paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, masih dipakainya semboyan “islamisasi pengetahuan”. Kedua, pengetahuan manusia hanya dibagi menjadi dua, yaitu qauliah dan kauniyah. Ketiga, soal-soal mengenai dasa pengetahuan (epistemology), cara menerjemahkan agama yang normative ke dalam ilmu yang teoritis (metodologi), dan hubungan antara Islam sebagai ilmu dan realitas (etika), semuanya masih remang-remang.
Menurut pandangan kuntowijoyo “Islamisasi pengetahuan” merupakan gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan, akan tetapi nampak seperti halnya gerakan bisnis yang pragmatis.
“mengnai “Islamisasi pengetahuan” seorang teman menyamakannya dengan “Islamisasi nonpri” pada tahun 1950-an. Seperti diketahui waktu itu ada pembatasan bisnis nonpri : nonpri hanya diperkenankan berbisnis paling bawah di ibukota kabupaten. Lalu ada gerakan kea rah “Islamisasi nonpri” oleh para nonpri sendiri yang punya bisnis di tingkat kedewanan ke bawah. Caranya ialah dengan sunat secara Islam”. (kuntowijoyo, 2007 : vii)
Oleh karena itu, beliau tidak memakai “Islamisasi pengetahuan, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini menjadi lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif.
Dengan ulasan yang sangat bernas, buku ini amat sesuai untuk digunakan sebagai referensi utama dalam melihat hubungan Islam dan ilmu pengetahuan, baik menyangkut aspek-aspek epistemology (dasar-dasar pengetahuan), metodologi (cara-cara menerjemahkan agama yang normative ke dalam ilmu teoritis), maupun etika (hubungan antara Islam sebagai ilmu dan realitas social). Buku ini lahir murni dilator belakangi oleh kegelisahan akademik penulisnya. Sistematika penulisan terbagi kedalam 5 bagian yaitu pembuka, bagian kedua:epistemology paradigm islam, bagian ketiga: metodologi pengilmuan Islam, bagian keempat: etika paradigm Islam, dan penutup: Paradigma Islam sebagai kritik peradaban modern.
Poin inti yang ingin disampaikan penulis sudar tertera pada judul yaitu Islam sebagai ilmu Epistemologi, metodologi dan etika. Penulis benar-benar memfokuskan pada major point-nya. Setiap bab demi bab memperdalam pemahaman pembacanya dalam memahami maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Kesemuanya ini diambil dari tulisan-tulisan beliau sendiri, baik yang telah menjadi buku maupun tulisan-tulisan untuk materi seminar. Tulisan-tulisan terebut didukung dengan teori-teori yang telah mapan lainnya, baik yang berbahasa Indonesia bahkan bahasa asing. Bagi penulis sendiri, dengan kerendahan hatinya menyebutkan bahwa ini bukan buku, melainkan “non buku comat-comot”. Karena memang berasal dari kumpulan tulisan yang sebelumnya telah ada, sehingga memungkinkan adanya pengulangan. Dengan kemungkinan tersebut, maka penulis mencoba menghilangkan kesan negative dengan memberikan catatan bahwa “pengulangan adalah penegasan”.
Cara pandang dalam menyikapi persoalan sosial, yang dikaitkan dengan konsep-konsep religius merupakan hal baru yang akan dirasakan oleh pembaca. Butuh waktu lama serta pengetahuan yang relative banyak untuk membetuk cara pandang seseorang. Menyelesaikan persoalan kehidupan misalnya. Ada yang beranggapan bahwa persoalan-persoalan empiric bisa terselesaikan apabila ditari pada teks (kontek-teks)[2]. Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari tauhid, aka nada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya[3]. Cara pandang lain dalam menyelesaikan permasalahan umat adalah “Islam Kontekstual”. “Islam kontekstual menjadi popular di Indonesia lewat Munawir Sjadzali, Menteri Agama RI tahun 1983-1993[4]. Selai itu, ada pula konsep yang dikenal dengan istilah “Islam Profetik” yang mencoba merekonstruksi cara pandang terhadap keteladanan Rosulullah Muhammad SAW. Bahwa pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan pelajaran hidup; bukan sekedar phisyical performance[5].

Epistemologi
Pasti banyak orang, bahkan orang islam sendiri, sangsi tentang kemungkinan teks Islam yang berasal dari abad ke-7 itu sanggup menjadi ilmu modern. Hai itu bisa dimengerti, karena di banya negeri Islam berbagai perbuatan yang mengatasnamakan islam agama (seperti ketimpangan jender, upacara sacral, pemujaan arwah) tetapi sebenarnya hanyalah budaya dan adat istiadat local. Strukturalisme Transendental akan mampu menunjukan bahwa islam yang otentik mempunyai kapasitas structuring, baik sebagai agama maupun sebagai ilmu. Untuk membangun paradisma Islam, ukuran tertingginya ialah al-tauhid, sama seperti Islam itu sendiri.

Dalam pembahasan mengenai epistemology paradigm Islam, ada tujuh poin poko. Pertama, Islam adalah suatu struktur. Kedua, Strukturalisme Transendental sebagau metode sesuai dengan keperluan Islam masa kini dan disini. Ketiga, Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya. Keempat, tugas umat Islam sekarang ini ialah menyadari perubahan-perubahan di lingkungannya untuk menyesuaikan muamalahnya. Kelima, gambaran tentang Islam yang kaku, anti-perubahan, dan kuno ternyata tidak benar. Keenam, kejian masalah-masalah kontenporer dalam bidang sosial, kemanusiaan, filsafat, seni dan tasawuf dari sudut pandang Islam dapat menghilangkan kesan tentang Islam yang garang, melihat segala soal secara legalistic (halal-haram), dan egosentris.

Metodologi Pengilmuan Islam
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu Integralisasi dan Objekifikasi. Pertama, integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan ilmu manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al Qur’an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang.

Etika Paradigma Islam
Ada empat hal yang akan dibicarakan. Pertama, tujuan akhir paradigm Islam. Seperti diketahui ilmu secular meramalkan bahwa transformasi kemanusiaan akan menuju kearah masyarakat secular, seperti terjadi didunia barat. Islam sebagai agama yang abadi mestinya menolak gagasan tentang transformasi, karena keabadian dan perubahan itu merupakan dua hal yang berlawanan? Tidak demikian, keabadian Islam justru merupakan perubahan yang permanen. Permanensi itu menurut Islam harus disertai dengan citarasa mengenai tujuan (a sense of goal), yaitu semakin dekatnya manusia kepada yang Maha Abadi. Islam menghendaki adanya transformasi menuju transendensi.
Kedua, untuk keperluan keterlibatan itu umat harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi (memanusiakan orang), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa manusia beriman kepada tuhan).
Ketiga, paradigm Islam akan menggunakan “methodological abjectivism” artinya, kita sepenuhnya menghormati objek penelitian, menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang mandiri : menghargai nilai-nilai yang dianut oleh objek penelitian. Paradigm Islam tidak akan bertindak seperti ilmu secular yang banyak merugikan Islam atas nama objektivitas ilmu.
Keempat, hanya berupa penegasan bahwa paradigm Islam tidak secara apriori menolak ilmu secular, tempat kebanyakan ilmuan muslim belajar. Paradigm Islam tidak berniat merobohkan hasil kerja keras kemanusiaan selama berabad-abad itu. Tetapi benar bahwa islam sebagai ilmu akan selalu kritis terhadap semua pengetahuan, secular atau tidak, bahkan kritis kepada diri sendiri.
Bagi peresensi, buku Islam sebagai Ilmu ini merupakan buku yang sangat berbobot. Buku ini merupakan reformasi atas dialek-tika keilmuan Islam bahkan mungkin revolusi. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh penulisnya, walaupun materi tergolong berat, rumit, akan tetapi tetap bisa dipahami karena penjelasan-penjelasannya sangat lugas. Sebagai mana dikatakan oleh penerbitnya, buku ini layak untuk digunakan sebagai referensi.

Sumber Bacaan
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, tiara wacana, Yogyakarta : 2007)
Masdar Hilmy, Islam Profetik, kanisius, Yogyakarta : 2008)
Wikipedia.com/biografi kuntowijoyo


[1] Wikipedia.com
[2] Isma’il Raji Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institut of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjaelang tahun 1980-an. Dalam Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Tiara Wacana. 2007 : 7)
[3] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu.  tiara wacana. 2007 : 7)
[4] __________. Islam sebagai Ilmu.  tiara wacana. 2007 : 10)
[5] Masdar Hilmy. Islam Profetik Substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang public. Kanisius. 2008 : 244)



 
;