Reliability of
the Material
Diskursus tentang hubungan antara Islam dan ilmu modern sudah
berlangsung cukup lama, bahkan sudah berumur lebih dari satu abad jika saja hal
itu dihitung sejak Ernest Renan mengangkat polemic tentang wahyu dan akal pada
1883. Puncak perbincangan mengenai hal tersebut, akhirnya sampai pada pemikiran
Isma’il Raji Al-Faruqi yakni “Islamisasi Pengetahuan”. Pada dasarnya berintikan
sebagai upaya untuk mengembalikan pengetahuan kepada asal muasalnya, yakni
kepada
agama, kepada keimanan, dan lebih khusus lagi kepada tauhid.
agama, kepada keimanan, dan lebih khusus lagi kepada tauhid.
Dalam konteks tersebut, pemikiran kuntowijoyo antitesis bagi pemikiran-pemikiran mainstream
yang berkembang pada saat itu. Hingga saat ini, “Islam sebagai ilmu” masih
menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Dalam forum-forum ilmiah, banyak
yang menggunakan pemikiran tersebut.
Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; lahir di Sanden,
Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61
tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.
Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah
Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo,
sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA
American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada
tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980.
Ia banyak menulis buku tentang sejarah, budaya, filsafat, dan
sastra, di antaranya Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Khotbah di Atas Bukit, dan
Impian Amerika. Selain itu, ia juga sering menulis cerita pendek dan esai di
surat kabar[1].
Pembahasan
Latar belakang lahirnya buku ini paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, masih dipakainya semboyan “islamisasi
pengetahuan”. Kedua, pengetahuan
manusia hanya dibagi menjadi dua, yaitu qauliah
dan kauniyah. Ketiga, soal-soal
mengenai dasa pengetahuan (epistemology),
cara menerjemahkan agama yang normative ke dalam ilmu yang teoritis
(metodologi), dan hubungan antara Islam sebagai ilmu dan realitas (etika),
semuanya masih remang-remang.
Menurut pandangan kuntowijoyo “Islamisasi pengetahuan” merupakan
gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan, akan tetapi nampak seperti
halnya gerakan bisnis yang pragmatis.
“mengnai
“Islamisasi pengetahuan” seorang teman menyamakannya dengan “Islamisasi nonpri”
pada tahun 1950-an. Seperti diketahui waktu itu ada pembatasan bisnis nonpri :
nonpri hanya diperkenankan berbisnis paling bawah di ibukota kabupaten. Lalu
ada gerakan kea rah “Islamisasi nonpri” oleh para nonpri sendiri yang punya
bisnis di tingkat kedewanan ke bawah. Caranya ialah dengan sunat secara Islam”.
(kuntowijoyo, 2007 : vii)
Oleh karena itu, beliau tidak memakai “Islamisasi pengetahuan, dan
ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini menjadi lebih
jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi pengilmuan Islam”. Dari
reaktif menjadi proaktif.
Dengan ulasan yang sangat bernas, buku ini amat sesuai untuk
digunakan sebagai referensi utama dalam melihat hubungan Islam dan ilmu
pengetahuan, baik menyangkut aspek-aspek epistemology
(dasar-dasar pengetahuan), metodologi
(cara-cara menerjemahkan agama yang normative ke dalam ilmu teoritis),
maupun etika (hubungan antara Islam
sebagai ilmu dan realitas social). Buku ini lahir murni dilator belakangi oleh
kegelisahan akademik penulisnya. Sistematika penulisan terbagi kedalam 5 bagian
yaitu pembuka, bagian kedua:epistemology paradigm islam, bagian ketiga:
metodologi pengilmuan Islam, bagian keempat: etika paradigm Islam, dan penutup:
Paradigma Islam sebagai kritik peradaban modern.
Poin inti yang ingin disampaikan penulis sudar tertera pada judul
yaitu Islam sebagai ilmu Epistemologi, metodologi dan etika. Penulis
benar-benar memfokuskan pada major point-nya. Setiap bab demi bab
memperdalam pemahaman pembacanya dalam memahami maksud yang ingin disampaikan
oleh penulis. Kesemuanya ini diambil dari tulisan-tulisan beliau sendiri, baik
yang telah menjadi buku maupun tulisan-tulisan untuk materi seminar.
Tulisan-tulisan terebut didukung dengan teori-teori yang telah mapan lainnya,
baik yang berbahasa Indonesia bahkan bahasa asing. Bagi penulis sendiri, dengan
kerendahan hatinya menyebutkan bahwa ini bukan buku, melainkan “non buku
comat-comot”. Karena memang berasal dari kumpulan tulisan yang sebelumnya telah
ada, sehingga memungkinkan adanya pengulangan. Dengan kemungkinan tersebut,
maka penulis mencoba menghilangkan kesan negative dengan memberikan catatan
bahwa “pengulangan adalah penegasan”.
Cara pandang dalam menyikapi persoalan sosial, yang dikaitkan dengan
konsep-konsep religius merupakan hal baru yang akan dirasakan oleh pembaca.
Butuh waktu lama serta pengetahuan yang relative banyak untuk membetuk cara
pandang seseorang. Menyelesaikan persoalan kehidupan misalnya. Ada yang
beranggapan bahwa persoalan-persoalan empiric bisa terselesaikan apabila ditari
pada teks (kontek-teks)[2].
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru
metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid.
Dari tauhid, aka nada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan,
kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai
metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya[3].
Cara pandang lain dalam menyelesaikan permasalahan umat adalah “Islam
Kontekstual”. “Islam kontekstual menjadi popular di Indonesia lewat Munawir
Sjadzali, Menteri Agama RI tahun 1983-1993[4].
Selai itu, ada pula konsep yang dikenal dengan istilah “Islam Profetik” yang
mencoba merekonstruksi cara pandang terhadap keteladanan Rosulullah Muhammad
SAW. Bahwa pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis,
komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi yang diambil dari pribadi Nabi
adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan, dan
pelajaran hidup; bukan sekedar phisyical performance[5].
Epistemologi
Pasti banyak orang, bahkan orang islam sendiri,
sangsi tentang kemungkinan teks Islam yang berasal dari abad ke-7 itu sanggup
menjadi ilmu modern. Hai itu bisa dimengerti, karena di banya negeri Islam
berbagai perbuatan yang mengatasnamakan islam agama (seperti ketimpangan
jender, upacara sacral, pemujaan arwah) tetapi sebenarnya hanyalah budaya dan
adat istiadat local. Strukturalisme Transendental akan mampu menunjukan bahwa
islam yang otentik mempunyai kapasitas structuring, baik sebagai agama
maupun sebagai ilmu. Untuk membangun paradisma Islam, ukuran tertingginya ialah
al-tauhid, sama seperti Islam itu sendiri.
Dalam pembahasan mengenai epistemology paradigm Islam, ada tujuh
poin poko. Pertama, Islam adalah suatu struktur. Kedua,
Strukturalisme Transendental sebagau metode sesuai dengan keperluan Islam masa
kini dan disini. Ketiga, Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah
dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya. Keempat,
tugas umat Islam sekarang ini ialah menyadari perubahan-perubahan di
lingkungannya untuk menyesuaikan muamalahnya. Kelima, gambaran tentang
Islam yang kaku, anti-perubahan, dan kuno ternyata tidak benar. Keenam, kejian
masalah-masalah kontenporer dalam bidang sosial, kemanusiaan, filsafat, seni
dan tasawuf dari sudut pandang Islam dapat menghilangkan kesan tentang Islam
yang garang, melihat segala soal secara legalistic (halal-haram), dan
egosentris.
Metodologi Pengilmuan Islam
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu
Integralisasi dan Objekifikasi. Pertama, integralisasi ialah
pengintegrasian kekayaan ilmu manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al
Qur’an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi
adalah menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang.
Etika Paradigma Islam
Ada empat hal yang akan dibicarakan. Pertama, tujuan akhir
paradigm Islam. Seperti diketahui ilmu secular meramalkan bahwa transformasi
kemanusiaan akan menuju kearah masyarakat secular, seperti terjadi didunia
barat. Islam sebagai agama yang abadi mestinya menolak gagasan tentang
transformasi, karena keabadian dan perubahan itu merupakan dua hal yang
berlawanan? Tidak demikian, keabadian Islam justru merupakan perubahan yang
permanen. Permanensi itu menurut Islam harus disertai dengan citarasa mengenai
tujuan (a sense of goal), yaitu semakin dekatnya manusia kepada yang
Maha Abadi. Islam menghendaki adanya transformasi menuju transendensi.
Kedua, untuk keperluan keterlibatan itu
umat harus berjuang penuh dalam sejarah kemanusiaan, yaitu humanisasi
(memanusiakan orang), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan
transendensi (membawa manusia beriman kepada tuhan).
Ketiga, paradigm Islam akan menggunakan “methodological
abjectivism” artinya, kita sepenuhnya menghormati objek penelitian,
menjadikan objek penelitian sebagai subjek yang mandiri : menghargai
nilai-nilai yang dianut oleh objek penelitian. Paradigm Islam tidak akan
bertindak seperti ilmu secular yang banyak merugikan Islam atas nama
objektivitas ilmu.
Keempat, hanya berupa penegasan bahwa
paradigm Islam tidak secara apriori menolak ilmu secular, tempat kebanyakan
ilmuan muslim belajar. Paradigm Islam tidak berniat merobohkan hasil kerja
keras kemanusiaan selama berabad-abad itu. Tetapi benar bahwa islam sebagai
ilmu akan selalu kritis terhadap semua pengetahuan, secular atau tidak, bahkan
kritis kepada diri sendiri.
Bagi peresensi, buku Islam sebagai Ilmu ini merupakan buku yang
sangat berbobot. Buku ini merupakan reformasi atas dialek-tika keilmuan Islam
bahkan mungkin revolusi. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh penulisnya,
walaupun materi tergolong berat, rumit, akan tetapi tetap bisa dipahami karena
penjelasan-penjelasannya sangat lugas. Sebagai mana dikatakan oleh penerbitnya,
buku ini layak untuk digunakan sebagai referensi.
Sumber Bacaan
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu,
tiara wacana, Yogyakarta : 2007)
Masdar Hilmy, Islam Profetik, kanisius,
Yogyakarta : 2008)
Wikipedia.com/biografi kuntowijoyo
[1] Wikipedia.com
[2] Isma’il Raji Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International
Institut of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjaelang tahun 1980-an. Dalam
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Tiara Wacana. 2007 : 7)
[3] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu.
tiara wacana. 2007 : 7)
[4] __________. Islam sebagai Ilmu.
tiara wacana. 2007 : 10)
[5] Masdar Hilmy. Islam Profetik Substansiasi nilai-nilai agama
dalam ruang public. Kanisius. 2008 : 244)