Pendahuluan
Tujuan utama diciptakannya
umat manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada penciptanya[1].
Ada ibadah yang secara langsung telah diperintahkan dan diatur dalam teks suci,
ada pula ibadah-ibadah yang bersifat aktualisasi nilai-nilai universal yang
secara teknis tidak diatur dengan jelas dalam teks suci (muamalah). Secara
garis besar, pola hubungan manusia bisa dibagi menjadi dua yaitu hubungan
antara manusia dengan tuhannya (hablu minallah) dan pola hubungan an
tar sesama manusia (hablu minannaas).
tar sesama manusia (hablu minannaas).
“barang siapa yang ingin
meraih kesuksesan di dunia maka raihlah dengan ilmu, barang siapa yang ingin
meraih kesuksesan di akhirat maka raihlah dengan ilmu, dan barang siapa yang
ingin meraih kesuksesan keduanya maka raihlah dengan ilmu”. Dari riwayat
tersebut, jelas manusia memiliki aturan main yang harus dipahami agar bisa
meraih kesuksesan, yang pada akhirnya diterjemahkan sebagai ilmu. Diantara
sekian banyak kesuksesan, keseimbangan antara urusan akhirat dengan dunia bisa
jadi merupakan bagian dari kesuksesan tersebut. Sebagai makhluk, manusia tentu
harus mematuhi sunatullah yang ditetapkan pencipta-Nya. Walaupun manusia
memiliki fikiran yang bisa saja membawa mereka kemanapun karena fikiran bersifat
bebas, Akan tetapi kebebasan dalam kaca mata Islam tentu berbeda dengan
kebebasan yang biasa dilakukan orang yang tidak memiliki aturan. Kebebasan
jangan sampai memperdayakan[2].
Kuntowijoyo mengartikan kebebasan tersebut sebagai kebebasan dalam berbisnis[3]. Orang
yang mampu memahami aturan main kemudian menerapkannya dalam kehidupan
sehari-harinya maka dia akan tergolong sebagai orang yang sukses.
Yang menjadi persoalan adalah
ketika ada saat dimana kita harus memenuhi kewajiban sebagai hamba kepada tuhannya,
dan pada saat yang sama kita tergoda oleh hal-hal yang bersifat muamalah.
Bagaimana kita harus mensikapi persoalan tersebut? Mana yang harus kita
prioritaskan? Untuk mensikapi permasalahan tersebut, hadits riwayat Bukhari
mungkin bisa memberikan gambaran yang jelas.
حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ غَنَّامٍ حَدَّثَنَا
زَائِدَةُ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَالِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ مِنْ الشَّأْمِ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا فَالْتَفَتُوا
إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ { وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ
لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
“Telah
menceritakan kepada kami [Tholq bin Ghonnam] telah menceritakan kepada kami
[Za'idah] dari [Hushain] dari [Salim] berkata, telah menceritakan kepada saya
[Jabir radliallahu 'anhu] berkata: "Ketika kami sedang shalat bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang rombongan dagang dari negeri
Syam yang membawa makanan. Maka orang-orang melirik (dan berhamburan pergi)
mendatangi rambongan tersebut, hingga tidak ada orang yang tersisa bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya dua belas orang. Maka turunlah ayat
ini (QS. Al Jumu'ah ayat 12) yang artinya.: ("Dan apabila mereka melihat
perdagangan atau permainan, maka mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka
meninggalkan kamu ketika kamu sedang berdiri menyampaikan berkhuthbah".
Pembahasan Imam Bukhari
Hadits tersebut diriwatkan
oleh Imam Bukhari. Seorang muhaddist yang sangat terkenal kredibilitasnya dalam
menghimpun hadits. Imam Bukhari memiliki nama asli Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at
setelah shalat Jum’at 13 Syawal 194 H[4]. Beliau
lahir di Bukhara dan besar di keluarga yang kental dengan keilmuan. Ayahnya
adalah seorang ahli hadits, akan tetapi dia tidak termasuk ulama yang banyak
meriwayatkan hadits. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil, sehingga dia pun
diasuh oleh ibunya dalam kondisi yatim. Akan tetapi ayahnya meninggalkan
Bukhari dalam keadaan yang berkecukupan dari harta yang halal dan berkah. Ayah
imam Bukhari berkata ketika menjelang kematiannya; “Aku tidak mengetahui satu
dirham pun dari hartaku dari barang yang haram, dan begitu juga satu dirhampun
hartaku bukan dari hal yang syubhat.” Maka dengan harta tersebut Bukhari
menjadikannya sebagai media untuk sibuk dalam hal menuntut ilmu.
Kecerdasan dan kejeniusan
Bukhari Nampak semenjak kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang
cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, sedikit sekali
orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya pada zamannya tersebut.
Dia tidak puas dengan hanya
menyimak hadits dari penduduk negrinya, sehingga tidak terelakkan lagi bagi
dirinya untuk mengadakan dalam rangka menuntut ilmu, dia berkeliling ke
negri-negri Islam. Dan pertama kali dia mengadakan perjalanannya adalah pada
tahun 210 hijriah, yaitu ketika umurnya menginjak 16 tahun, pada tahun
kepergiannya dalam rangka menunaikan ibadah haji bersama dengan ibundanya dan
saudara tuanya.
Negri-negri yang pernah
beliau masuki adalah sebagai berikut;
1. Khurasan
dan daerah yang bertetangga dengannya
2. Bashrah
3. Kufah
4. Baghdad
5. Hijaz (Makkah
dan Madinah)
6. Syam
7. Al
Jazirah (kota-kota yang terletak di sekitar Dajlah dan eufrat)
8. Mesir
Guru-guru
beliau. Imam Bukhari berjumpa dengan sekelompk kalangan atba’ut
tabi’in muda, dan beliau meriwayatkan hadits dari mereka, sebagaimana beliau
juga meriwayatkan dengan jumlah yang sangat besar dari kalangan selain mereka.
Dalam masalah ini beliau bertutur: aku telah menulis dari sekitar seribu
delapan puluh jiwa yang semuanya dari kalangan ahlul hadits. Guru-guru imam
Bukhari terkemuka yang telah beliau riwayatkan haditsnya;
1.
Abu ‘Ashim An Nabil
2.
Makki bin Ibrahim
3.
Muhammad bin ‘Isa bin Ath
Thabba’
4.
Ubaidullah bin Musa
5.
Muhammad bin Salam Al Baikandi
6.
Ahmad bin Hambal
7.
Ishaq bin Manshur
8.
Khallad bin Yahya bin Shafwan
9.
Ayyub bin Sulaiman bin Bilal
10. Ahmad bin Isykab
11. Dan masih banyak lagi
Persaksian
para ulama terhadap beliau. Sangat banyak sekali para ulama yang memberikan
kesaksian atas keilmuan imam Bukhari, diantara mereka ada yang dari kalangan
guru-gurunya dan teman-teman seperiode dengannya. Adapun periode setelah
meninggalnya bukhari sampai saat ini, kedudukan imam Bukhari selalu bersemayam
di dalam relung hati kaum muslimin, baik yang berkecimpung dalam masalah
hadits, bahkan dari kalangan awwam kaum muslimin sekali pun memberikan
persaksian atas keagungan beliau. Di antara para tokoh ulama yang memberikan
persaksian terhadap beliau adalah;
1.
Abu Bakar ibnu Khuzaimah telah
memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: “Di kolong langit
ini tidak ada orang yang lebih mengetahui hadits dari Muhammad bin Isma’il.”
2.
‘Abdan bin ‘Utsman Al Marwazi
berkata; ‘aku tidak pernah melihat dengan kedua mataku, seorang pemuda yang
lebih mendapat bashirah dari pemuda ini.’ Saat itu telunjuknya diarahkan kepada
Bukhari
3.
Qutaibah bin Sa’id menuturkan;
‘aku duduk bermajelis dengan para ahli fikih, orang-orang zuhud dan ahli
ibadah, tetapi aku tidak pernah melihat semenjak aku dapat mencerna ilmu orng
yang seperti Muhammad bin Isma’il. Dia adalah sosok pada zamannya seperti ‘Umar
di kalangan para sahabat. Dan dia berkata; ‘ kalau seandainya Muhammad bin
Isma’il adalah seorang sahabat maka dia merupakan ayat.
4.
Ahmad bin Hambal berkata;
Khurasan tidak pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.
5.
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan
Ibnu Numair menuturkan; kami tidak pernah melihat orang yang seperti Muhammad
bin Ism’ail
6.
Bundar berkata; belum ada
seorang lelaki yang memasuki Bashrah lebih mengetahui terhadap hadits dari
saudara kami Abu Abdillah.
7.
Abu Hatim ar-Razi berkata:
“Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi
Muhammad bin Isma’il, juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut
menuju Irak yang melebihi kealimannya.”
8.
Muslim (pengarang kitab Sahih)
berkata ketika Bukhari menyingkap satu cacat hadits yang tidak di ketahuinya;
“Biarkan saya mencium kedua kaki anda, wahai gurunya para guru dan pemimpin
para ahli hadits, dan dokter hadits dalam masalah ilat hadits.”
9.
al-Hafiz Ibn Hajar yang
menyatakan: “Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka
bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan
lautan tak bertepi.”
Hasil karya
beliau.
Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
1.
Al Jami’ as Sahih (Sahih
Bukhari)
2.
Al Adab al Mufrad.
3.
At Tarikh ash Shaghir.
4.
At Tarikh al Awsath.
5.
At Tarikh al Kabir.
6.
At Tafsir al Kabir.
7.
Al Musnad al Kabir.
8.
Kitab al ‘Ilal.
9.
Raf’ul Yadain fi ash Shalah.
10. Birru al Walidain.
11. Kitab al Asyribah.
12. Al Qira`ah Khalfa al Imam.
13. Kitab ad Dlu’afa.
14. Usami ash Shahabah.
15. Kitab al Kuna.
16. Al Hbbah
17. Al Wihdan
18. Al Fawa`id
19. Qadlaya ash Shahabah wa at Tabi’in
20. Masyiikhah
Pembahasan Sanad
Hadits
حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ
غَنَّامٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَالِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي
جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ مِنْ الشَّأْمِ عِيرٌ تَحْمِلُ
طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ { وَإِذَا
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Dari sanad yang ada dalam
hadits ini, rowi yang meriwayatkan sebelum sampai pada muhaddits berjumlah 5
orang. Yang pertama meriwayatkan adalah Jaabir, lalu diriwayatkan ke Saalim, ke
Husen, ke Ja’idah, ke Tolaq, dan sampailah kepada muhaddits yaitu Bukhori.
Kualifikasi rowi tersebut diambil dari kitab Mausu’ah al
Hadits al Syarif versi software. Tingkatan qulitas rowi terdiri dari 12 warna,
dan tiap-tiap warna mencerminkan kualitas sesuai dengan qualifikasi yang ada
dalam teori-teori ilmu hadits. Tingkatan pertama adalah Shahabat,
sebagai mana kita ketahui bahwa seluruh rowi yang berada pada masa sahabat di
sepakati sebagai orang yang dapat dipercaya. Sehingga tidak diragukan lagi
kredibilitasnya sebagai periwayat hadits. Pada level ini, diwakili dengan warna
putih. Yang kedua adalah level yang disebut dengan istilah “ثقة ثقة أو ثقة حافظ”. Secara
bahasa “ثقة”
memiliki arti kepercayaan, atau bisa dimaknai sebagai orang yang dapat
dipercaya. Kemudian “حافظ”
secara bahasa memiliki arti memperhatikan, mementingkan, memelihara dengan
baik. Level ini diwakili dengan warna putih tulang. Ketiga diistilahkan
dengan “ثقة أو متقن أو عدل”.
Kata “ثقة”
artinya orang yang dapat dipercaya, kemudian “ متقن” memiliki arti
yang mengerjakan dengan sempurna, dan “عدل” memiliki arti berbuat adil. Serta
Sembilan tingkatan lainnya yang tidak bisa dibahas dalam makalah ini.
Tingkatan kualitas rowi tersebut disusun berdasarkan yang
paling kuat hingga kepada yang paling lemah, bahkan sampai tingkatan rowi yang
suka memalsukan hadits. Berdasarkan pada tingkatan kualitas rowi yang ada dalam
mausu’ah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hadits tersebut memiliki qualitas
yang bagus. Karena rowi-rowi yang meriwayatkan hadits tersebut diklasifikasikan
sebagai rowi yang memiliki kualitas yang baik, bahkan tertinggi.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Jumlah Sanad
Hadits ini digolongkan hadits mutawatir karena banyak
yang meriwayatkan. Mutawatir dalam Lidwa (Lembaga Ilmu Dakwah & Publikasi
Sarana Keagamaan) memiliki arti Hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang
yang mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat dan mereka menyandarkannya
kepada sesuatu yang nyata[5].
Dari pengertian di atas, dipahami bahwa hadits ini bisa digolongkan sebagai
hadits mutawatir karena diriwayatkan oleh sekumpulan orang yang mustahil mereka
sepakat berdusta menurut adat dan mereka menyandarkan-nya kepada sesuatu yang
nyata. Akan tetapi, ada referensi lain yang mengkhusus-kan bahwa yang dimaksud
mutawatir disini adalah pada tataran sahabat. Jika pada tataran sahabat tidak
banyak yang meriwayatkan, maka sebanyak apapun rowi dibawahnya tetap tidak bisa
disebut hadits mutawatir. Menurut Prof. Drs. H. Endang Soetari AD., M.Si.,
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dariyah disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan hadits mutawatir adalah khabar yang didasarkan pada
panca indera yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat
mereka bersepakat untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta[6].
Salah satu syaratnya adalah adanya keseimbangan jumlah rawi di awal sanad,
dipertengahan dan selanjutnya, dalam bidang mutawatir.
Dalam kitab shahih Bukhari terdapat 5 hadits dengan rowi
yang berbeda. Kualitas hadits berdasarkan sanadnya pun berbeda-beda satu sama
lainnya. Ada yang memiliki sanad yang kuat, disisi lain ada yang memiliki sanad
yang lemah. Akan tetapi, kebanyakan hadits memiliki sanad yang kuat, sehingga
hadits yang memiliki sanad yang lemah akan menjadi kuat (shahih li goirihi)
dengan adanya hadits lain yang sama
tetapi sanad yang berbeda dan lebih kuat.
Total hadits di seluruh kitab hadits yaitu sebanyak 16
hadits[7].
Dengan banyaknya rowi, maka kekuatan hadits menjadi lebih teruji karena dalam
ilmu hadits dikatakan bahwa jika banyak orang yang meriwayatkan, maka tidak
mungkin ada kesepakatan untuk berbohong dalam meriwayatkan hadits.
Menurut pandangan penulis, hadits ini bisa digolongkan
sebagai hadits yang memiliki predikat hadits shahih lidzatih. Maksudnya adalah
hadits yang sohih karena kekuatan sanad hadits itu sendiri. Keshahihannya
semakin kuat dengan banyaknya rowi lain yang meriwayatkan hadits yang sama.
Periwayatan hadits terdiri dari dua jenis, yaitu
periwayatan hadits bil ma’na, dan periwayatan hadits bil lafdi. Periwayatan
bil ma’na adalah cara meriwayatkan hadits dengan memperhatikan maknanya saja,
sementara redaksinya dibuat oleh rowi yang meriwayatkan. Dalam hal ini,
walaupun secara lafad boleh tidak sama akan tetapi memiliki kandungan makna
yang sama. Periwayatan bil lafdi ialah cara meriwayatkan hadits, tanpa merubah
susunan redaksinya.
Dalam kasus ini, periwayatannya berdasarkan pada ma’na
hadits atau dengan kata lain hadits bil ma’na.
Dilihat dari segi sumbernya, periwayatan hadits paling
tidak digolongkan kedalam tiga jenis. Pertama hadits qouli, maksudnya
adalah hadits yang disandarkan kepada perkataan nabi. Kedua hadits
fi’li, maksudnya adalah hadits yang disandarkan kepada perbuatan nabi. Ketiga
hadits takriri, maksudnya adalah hadits yang disandarkan kepada
pembiaran/kesepakatan nabi. Dilihat dari sumbernya, penulis memahami bahwa
hadits ini merupakan hadits fi’li karena ini merupakan sebab-sebab turunnya Al
Qur’an Surat Al Jumu’ah(62) Ayat 11. Suatu saat ketika rosulullah sedang
menunaikan shalat jum’at, datang rombongan pedagang dari negeri syam yang
membawa makanan. Lalu Jemaah langsung melirik dan berhamburan mendatangi rombongan
dagang tersebut hingga tersisa jema’ah sebanyak 12 orang bersama nabi.
Ini merupakan kejadian yang melatar belakangi turunnya
Q.S. Al Jumu’ah (62) : 11. Dari kejadian itu, banyak orang yang meriwayatkan kejadian
tersebut sehingga muncullah hadits ini. Dengan pertimbangan inilah, penulis
mengklasifikasikannya sebagai hadis fi’liyah.
Pembahasan Matan Hadits
Yang menjadi matan dalam
hadits tersebut adalah;
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ مِنْ الشَّأْمِ عِيرٌ تَحْمِلُ
طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ { وَإِذَا
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
"Ketika
kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang
rombongan dagang dari negeri Syam yang membawa makanan. Maka orang-orang
melirik (dan berhamburan pergi) mendatangi rambongan tersebut, hingga tidak ada
orang yang tersisa bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya dua
belas orang. Maka turunlah ayat ini (QS. Al Jumu'ah ayat 11) yang artinya.:
("Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, maka mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka meninggalkan kamu ketika kamu sedang berdiri
menyampaikan berkhuthbah".
Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, hadits ini merupakan hadits mengenai latar belakang turunnya Q.S Al
Jumu’ah (62) : 11. Hadits ini menerangkan suatu kondisi dimana ketika
Rosulullah sedang berkhutbah kemudian ada jema’ahnya meninggalkan khutbah
dikarenakan ada rombongan pedagang dari kota Syam yang membawa barang dagangan
serta makanan. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa jemaahnya meninggalkan hingga
yang tinggal hanya 12 orang yang masih men-dengarkan khutbah beliau. Dengan
adanya kejadian ini, maka Allah menurunkan ayat;
#sŒÎ)ur (#÷rr&u‘ ¸ot»pgÏB ÷rr& #·qølm; (#þq‘ÒxÿR$# $pköŽs9Î) x8qä.ts?ur $VJͬ!$s% 4 ö@è% $tB y‰ZÏã «!$# ׎öyz z`ÏiB Èqôg¯=9$# z`ÏBur Íot»yfÏnF9$# 4 ª!$#ur çŽöyz tûüÏ%Ηº§9$# ÇÊÊÈ
“Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”. (Q.S. Al Jumu’ah 62 : 11)
Sumber mata pencaharian orang
Arab seperti yang kita ketahui adalah perniagaan pada saat itu. Mereka sangat
mudah tertarik pada kegiatan-kegiatan yang berbau perniagaan. Ayat ini
menjelaskan bahwa perniagaan tidaklah lebih baik dari pada Allah sebagai
pemberi rizki.
Simpulan
Dari berbagai referensi yang
telah dibahas, maka hadits nomor 1917, yang di ambil dari kitab shahih bukhari
merupakan hadits yang shahih lidzatih, dengan memperhatikan kialitas rawi yang
meriwayatkan hadits tersebut, ditambah dengan banyaknya riwayat lain yang
memiliki makna sama dengan hadits ini. Hadits ini merupakan hadits mengenai
asbabunnuzul sebuah ayat Al Qur’an, tepatnya Q.S. Al Jumu’ah 62 : 11. Hadits
ini menerangkan suatu kondisi dimana ketika Rosulullah sedang berkhutbah
kemudian ada jema’ahnya meninggalkan khutbah dikarenakan ada rombongan pedagang
dari kota Syam yang membawa barang dagangan serta makanan. Dalam hadits
tersebut dikatakan bahwa jemaahnya meninggalkan hingga yang tinggal hanya 12
orang yang masih men-dengarkan khutbah beliau. Dengan adanya kejadian ini, maka
Allah menurunkan tersebut.
Wallahu’alambissawaaf…
Sumber Bacaan
Digital
Al Qur’an v.3.1
Endang
Soetari. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung : Amal Bakti
Press. 2000.
Kamus
Bahasa Arab v.2.0
Kuntowijoyo.
Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2007.
Maushu’ah
Al Hadits Al Syarif
Maktabah
Syamilah
[1] Q.S. Adz Dzaariyat 51 : 56
[2] Q.S Ali ‘Imran (3): 196
[3] Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta
: Tiara Wacana. 2007. Hal. 5
[5]
http://www.lidwa.com/category/blog/dasar-ilmu-hadits/
[6] Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian
Riwayah & Dirayah, Bandung : Amal Bakti Press, 2000, hlm. 91.
[7] Pohon Sanad dilampiran