Mohon Maaf, Artikel dalam Blog Ini Akan Kami Lanjutkan Pada Blog Kami Lainnya. Bagi Anda yang Berkenan Membaca Artikel Ekonomi Islam, Mari Berkunjung di artikelekis.blogspot.com. Blog Baru Kami, Insy akan Difokuskan untuk Membahas Seputar Ekonomi Islam. Mulai Saat Ini, Blog Ini Tidak Akan Kami Update.
Saturday, February 4, 2012

BOOK REVIEW: ISLAM PROFETIK Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik


SUMMARY/ABSTRACT
Pada awalnya adalah “kata.” Ya, hiruk-pikuk diskursus tentang apa pun di dunia ini yang tidak jaran berakhir dengan disensus (ketidaksepakatan) hingga skisme pemikiran dan konflik kekerasan pada mulanya berawal dari penggunaan kata dalam merepresentasikan keyakinan atau kebenaran. Penghadiran keyakinan atau kebenaran dilakukan melalui tahapan-tahapan; dari kata berkembang menjadi frasa, dari frasa menjadi diskursus yang pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah – meminjam Arkoun – “logosentrisme[1].” Derrida menegaskan bahwa
tidak ada kebenaran diluar kata (teks). Kata mewakili kebenaran.
Disensus dan konflik tidak lebih dari sekedar perbedaan pendekatan komunitas beragama yang berkelindan dengan faktor-faktor sosial-politik yang mengitarinya terhadap apa yang dianggapnya sebagai yang “suci”. Perbedaan pembacaan terhadap realitas teks suci dikalangan ummat beragama tidak mungkin dieliminasi, karena  berbeda adalah hak setiap individu yang dijamin undang-undang, bahkan ditransendensikan sendiri oleh agama. Kita tidak mungkin melarang orang lain untuk berbeda dalam memahami dan menjalankan ajaran agamanya. Yang diperkulan barangkali adalah bagaimana agar pembedaan pembacaan tersebut tidak menjadi jerami kering yang setiap saat rentan untuk dibakar oleh tangan-tangan jahil demi kepentingan sesaat. Dalam konteks ini, pendewasaan cara pandang umat beragama terhadap realitas teks suci menjadi imperatif melalui sebuah upaya pemelekan keagamaan (religious literacy) yang berjenjang dan simultan.
Dalam konteks upaya penghadiran agama yang sesuai dengan nilai-nilai substansial inilah buku ini hadir.


SENSE OF ACADEMIC CRISIS
Peringatan maulid (kelahiran) Nabi selalu menjadi momen tepat untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita. Ia bisa dikatakan sebagai upaya mengaca diri di hadapan “cermin besar” keteladanan Rosul dalam segala aspek kehidupannya yang tidak mesti dilakukan secara praktis, harfiah, atau sepotong-sepotong. Pemaknaan terhadap keteladanan perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi, yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang berupa hikmah, kearifan, pesan dan pelajaran hidup. Bukan sekedar physical performance yang artifisial dan karikatif. Konsekuensinya, tidak semua perilaku Nabi, terutama yang bersifat fisik, harus dijiplak mentah-mentah, tanpa mempertimbangkan kesesuaian konteksnya.
Urgensi memunculkan kembali kesadaran profetik dalam ruang keberagamaan kita didasarkan pada sejumlah fenomena kehidupan yang makin menjauh dari semangat kenabian Muhammad, seperti kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Betapa disekeliling kita sudah dipenuhi oleh orang-orang yang konon beragama namun sama sekali tidak mampu memaknai keberagamaannya sendiri secara profetik. Kecintaan dan komitmen mereka terhadap agama dan Nabi tidak perlu diragukan, namun itu semua dibungkus fanatisme buta yang justru sering merugikan sendiri.
Mengharapkan agama mampu menjawab segala persoalan kontemporer, mungkin ibarat “mimpi disiang bolong”, ketika persoalan inheren dalam agama sendiri belum terpecahkan. Dalam kenyataannya, cara pembacaan umat beragama terhadap realitas agamanya masih amat simpel – jika bukan malah “primitif”. Agama masih dibelenggu pandangan parokial berupa keterkungkungan teks yang diciptakan umatnya sendiri.

THE IMPORTANCE OF TOPIC
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, cara pandang merupakan hal yang penting dalam keberlangsungan kehidupan. Cara pandang sangat berpengaruh terhadap sikap. Cara pandang yang baik, tentu akan memunculkan sikap yang baik, begitu pula sebaliknya. Cara pandang yang kurang tepat, maka akan menciptakan sikap yang kurang baik pula.
Agar umat Islam bisa memiliki kedudukan yang baik dalam tatanan masyarakat yang heterogen, maka umat Islam hendaknya merubah cara pandangnya. Contoh yang telah diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya misalnya, cara pandang terhadap peringatan maulid nabi yang sempit, terjebak paka phisical performance, telah melahirkan umat yang kaku, tertutup dengan dinamika kehidupan. Oleh karenanya, merubah cara pandang merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk masa depan yang lebih baik.

THE PRIOR RESEARCH ON TOPIC
Sebelum buku ini, pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan yang mengarah pada Substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang publik, banyak menghiasi forum-forum diskusi, artikel-artikel bahkan dalam jurnal-jurnal akademis. Ada yang mengarah kepada Islam Profetik, ada pula yang tidak. Buku ini termasuk pada golongan yang menjadikan Islam Profetik sebagai solusi atas permasalahan substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang publik.
Islam sebagai Ilmu misalnya, hampir senada dengan Islam Profetik substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang publik. Buku kuntowijoyo ini telah terbit sebelum Masdar Hilmy melahirkan bukunya. Pada tahun 2006, Kuntowijoyo telah berupaya untuk merubah cara pandang mengenai posisi agama (khususnya Islam) dalam ranah science. Beliau inngin merubah paradigma “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”, dengan tujuan untuk membumikan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus membeda-bedakan dari segi keagamaan.

THE  THEORITICAL FRAMEWORK
Menurut pandangan penulis, misi profetik nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan[2]. Konsep inilah yang menjadi grand theory sehingga melahirkan buku ini. Penulis mengalami hal yang dirasakan jauh berbeda dengan misi frofetik Nabi, sehingga terdorong untuk merubah paradigma yang ada melalui bukunya.
Dalam mewujudkan cita-citanya, Masdar Hilmy menggunakan pendekatan filsafat untuk mengkomunikasikan konsep yang dibangun. Pemaknaan terhadap suatu kata atau yang biasa disebut dengan kajian etimologi, menjadi pondasi awal untuk membangun konsep. Dengan adanya pengkajian mengenai ”kata” ini, maka akan mengara pada cara baca terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam mengelaborasi pemahaman yang melekat di umat muslim pada umumnya, Masdar Hilmy menggunakan pendekatan fenomenologi. Ada fenomena yang menarik pada umat Islam mengenai cara pandang. Banyaknya diskursus yang bergejolak, perpecahan antar umat se-agama, yang bermuara pada cara pandang.
Paling tidak, dua pendekatan diatas yang terlihat dominan dalam pengkajian buku Masdar Hilmy. Mungkin ada pendekatan lain pula yang digunakan oleh penulis.


THE RESULT OF RESEARCH/THE CONCLUSION
Bisa dikatakan bahwa hadirnya buku ini untuk memberikan pandangan baru mengenai misi profetik. Penulis menjelaskan bahwa misi profetik bisa dicapai dengan dua hal; membebaskan agama lebih dahulu, lalu mengontruksi agama yang membebaskan. Musuh yang melekat dalam diri agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar dirinya. Disinilah letak pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan kontemporer yang makin rumit dan menantang.
Pembebasan Agama
Objek sekaligus subjek keberagamaan profetik adalah umat manusia secara keseluruhan, tanpa kecuali. Persoalan pembacaan terhadap agama justru sering menghalangi tercapainya misi profetik agama itu sendiri, yakni menjadikan mereka humanum (manusia sejati). Umat manusia, melalui pembacaan terhadap realitas agamanya, sering berbuat kerusakan yang merugikan manusia lain. Pembacaan terhadap agamanya masi teosentris (manusia untuk agama), belum antroposentris (agama untuk manusia). Cara pembacaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pembacaan yang terbebaskan.
Pembacaan agama yang antroposentris, seperti ditegaskan Esack (1997), membawa apa dua implikasi. Pertama, pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan harus manusia secara keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara keseluruhan, bukan sebagian atau segelintir dari mereka.



Agama Pembebasan
Misi profetik Nabi yang paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusi dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menjuju kondisi yang diinginkan. Inilah yang dilakukan oleh Nabi kepada masyarakat Arab pada awal-awal masa kenabiannya.
Dalam pandangan Engineer (1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenalkan amat feodal dan paternal yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Islam turun membawa pesan egalitarian di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar warna kulit, ras, suku atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya (Q.S. 48:13).
Konsep pembebasan yang dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab, tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang berawal dari arogansi rasial, etnik dan budaya. Artinya, dengan beragama kita hilangkan kemiskinan, kebodohan dan kedzaliman. Bukan sebaliknya.
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan, Al Qur’an amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada orang-orang kaya saja (Q.S. 59 : 7), sementara orang miskin selalu tertindas secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al Qur’an juga menganjurkan urang berupaya menaffkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin (Q.S. 2 : 219).
Ketiga, sikap terdahap orang lain. Keterbukaan, toleransi dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif lain dalam Islam. Al Qur’an telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan dalam beragama (Q.S. 2 : 256), bagimu agamamu, bagiku agamaku (Q.S. 109:6) dan Al Qur’an telah mengajarkan penghormatan kepada semua nabi yang diturunkan Allah ke dunia (Q.S. 4 : 150-151).

THE CONTRIBUTION TO  KNOWLEDGE
Buku ini lahir sebagai partisipasi penulis untuk menghadirkan dimensi yang berbeda dalam upaya pembacaan atas realitas agama, yakni pembacaan keagamaan yang profetik. Penulis meyakini bahwa cara-cara pembacaan terhadap realitas teks suci semacam ini perlu dikembangkan secara lebih massif agar kehadiran agama-agama di dunia, khususnya di Tanah Air, bisa menjadi solusi bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan malah sebaliknya : menjadi bagian dari persoalan kemanusiaan.

THE BOOKREVIEWER CRITIQUE TOWARD THE BOOK
Sedikitnya ada tiga catatan ketika membaca buku ini, yaitu:
Pertama, segmentasi yang tidak jelas bisa menyesatkan pembaca dalam kebingungan. Istilah-istilah yang digunakan banyak yang sulit di cerna. Mungkin bagi sebagian orang tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi kebanyakan orang, istilah yang digunakan bisa menghambat proses pencernaan terhadap substansi nilai yang ditawarkan penulis. Bahkan ada diantanranya istilah yang tidak baku, tidak ada dalam kamus ilmiah dan kamus besar bahasa indonesia.
Kedua, koherensi antar bab dengan bab lain, atau sub bab dengan sub bab lain, terkesan kurang terlihat. Hal ini dikarenakan buku ini terdiri dari kumpulan artikel-artikel lepas yang dimuat secara terpisah di media massa dan jurnal-jurnal akademis.
Ketiga, banyak terlihat repetisi atas poin-poin tertentu, hal ini karena masing-masing tulisan mempresentasikan karakter dasar penulis yang dihadirkan di tiap-tiap tulisan.

THE REFERENCES
Hilmy, Masdar. 2008. ISLAM PROFETIK Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. Yogyakarta: Kanisius.
Kuntowijoyo. 2006. ISLAM SEBAGAI ILMU Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.



[1] Mengandaikan adanya asumsi bahwa kebenaran itu terkandung dalam kata (logos).
[2] Masadar Hilmy, 2008 : 248
 
;