SUMMARY/ABSTRACT
Pada awalnya adalah “kata.” Ya,
hiruk-pikuk diskursus tentang apa pun di dunia ini yang tidak jaran berakhir
dengan disensus (ketidaksepakatan) hingga skisme pemikiran dan konflik kekerasan
pada mulanya berawal dari penggunaan kata dalam merepresentasikan keyakinan
atau kebenaran. Penghadiran keyakinan atau kebenaran dilakukan melalui
tahapan-tahapan; dari kata berkembang menjadi frasa, dari frasa menjadi
diskursus yang pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah – meminjam Arkoun – “logosentrisme[1].”
Derrida menegaskan bahwa
tidak ada kebenaran diluar kata (teks). Kata mewakili kebenaran.
tidak ada kebenaran diluar kata (teks). Kata mewakili kebenaran.
Disensus dan konflik tidak lebih dari
sekedar perbedaan pendekatan komunitas beragama yang berkelindan dengan
faktor-faktor sosial-politik yang mengitarinya terhadap apa yang dianggapnya
sebagai yang “suci”. Perbedaan pembacaan terhadap realitas teks suci dikalangan
ummat beragama tidak mungkin dieliminasi, karena berbeda adalah hak setiap individu yang
dijamin undang-undang, bahkan ditransendensikan sendiri oleh agama. Kita tidak
mungkin melarang orang lain untuk berbeda dalam memahami dan menjalankan ajaran
agamanya. Yang diperkulan barangkali adalah bagaimana agar pembedaan pembacaan
tersebut tidak menjadi jerami kering yang setiap saat rentan untuk dibakar oleh
tangan-tangan jahil demi kepentingan sesaat. Dalam konteks ini, pendewasaan
cara pandang umat beragama terhadap realitas teks suci menjadi imperatif
melalui sebuah upaya pemelekan keagamaan (religious literacy) yang
berjenjang dan simultan.
Dalam konteks upaya penghadiran agama
yang sesuai dengan nilai-nilai substansial inilah buku ini hadir.
SENSE OF ACADEMIC CRISIS
Peringatan maulid (kelahiran) Nabi
selalu menjadi momen tepat untuk merefleksikan kembali keberagamaan kita. Ia
bisa dikatakan sebagai upaya mengaca diri di hadapan “cermin besar” keteladanan
Rosul dalam segala aspek kehidupannya yang tidak mesti dilakukan secara
praktis, harfiah, atau sepotong-sepotong. Pemaknaan terhadap keteladanan
perilaku Nabi harus elastis, komprehensif, substansial, dan kontekstual. Jadi,
yang diambil dari pribadi Nabi adalah dimensi keteladanan profetiknya yang
berupa hikmah, kearifan, pesan dan pelajaran hidup. Bukan sekedar physical
performance yang artifisial dan karikatif. Konsekuensinya, tidak semua
perilaku Nabi, terutama yang bersifat fisik, harus dijiplak mentah-mentah,
tanpa mempertimbangkan kesesuaian konteksnya.
Urgensi memunculkan kembali kesadaran
profetik dalam ruang keberagamaan kita didasarkan pada sejumlah fenomena
kehidupan yang makin menjauh dari semangat kenabian Muhammad, seperti
kekerasan, terorisme, kriminalitas, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan,
ketidakadilan dan ketertindasan, despotisme dan keangkuhan, hedonisme dan
pemberhalaan duniawi, dan semacamnya. Betapa disekeliling kita sudah dipenuhi
oleh orang-orang yang konon beragama namun sama sekali tidak mampu memaknai
keberagamaannya sendiri secara profetik. Kecintaan dan komitmen mereka terhadap
agama dan Nabi tidak perlu diragukan, namun itu semua dibungkus fanatisme buta yang
justru sering merugikan sendiri.
Mengharapkan agama mampu menjawab
segala persoalan kontemporer, mungkin ibarat “mimpi disiang bolong”, ketika
persoalan inheren dalam agama sendiri belum terpecahkan. Dalam kenyataannya,
cara pembacaan umat beragama terhadap realitas agamanya masih amat simpel –
jika bukan malah “primitif”. Agama masih dibelenggu pandangan parokial berupa
keterkungkungan teks yang diciptakan umatnya sendiri.
THE IMPORTANCE OF TOPIC
Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, cara pandang merupakan hal yang penting dalam
keberlangsungan kehidupan. Cara pandang sangat berpengaruh terhadap sikap. Cara
pandang yang baik, tentu akan memunculkan sikap yang baik, begitu pula
sebaliknya. Cara pandang yang kurang tepat, maka akan menciptakan sikap yang
kurang baik pula.
Agar
umat Islam bisa memiliki kedudukan yang baik dalam tatanan masyarakat yang
heterogen, maka umat Islam hendaknya merubah cara pandangnya. Contoh yang telah
diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya misalnya, cara pandang terhadap
peringatan maulid nabi yang sempit, terjebak paka phisical performance, telah
melahirkan umat yang kaku, tertutup dengan dinamika kehidupan. Oleh karenanya,
merubah cara pandang merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk masa
depan yang lebih baik.
THE PRIOR RESEARCH ON TOPIC
Sebelum buku ini, pembahasan mengenai
permasalahan-permasalahan yang mengarah pada Substansiasi nilai-nilai agama
dalam ruang publik, banyak menghiasi forum-forum diskusi, artikel-artikel
bahkan dalam jurnal-jurnal akademis. Ada yang mengarah kepada Islam Profetik,
ada pula yang tidak. Buku ini termasuk pada golongan yang menjadikan Islam
Profetik sebagai solusi atas permasalahan substansiasi nilai-nilai agama dalam
ruang publik.
Islam
sebagai Ilmu misalnya, hampir senada dengan Islam Profetik
substansiasi nilai-nilai agama dalam ruang publik. Buku kuntowijoyo ini
telah terbit sebelum Masdar Hilmy melahirkan bukunya. Pada tahun 2006,
Kuntowijoyo telah berupaya untuk merubah cara pandang mengenai posisi agama
(khususnya Islam) dalam ranah science. Beliau inngin merubah paradigma
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”, dengan tujuan untuk
membumikan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus
membeda-bedakan dari segi keagamaan.
THE THEORITICAL
FRAMEWORK
Menurut
pandangan penulis, misi profetik nabi yang paling utama adalah misi pembebasan,
yakni membebaskan umat manusia dari segala bentuk belenggu dan ketertindasan[2]. Konsep inilah
yang menjadi grand theory sehingga melahirkan buku ini. Penulis
mengalami hal yang dirasakan jauh berbeda dengan misi frofetik Nabi, sehingga
terdorong untuk merubah paradigma yang ada melalui bukunya.
Dalam
mewujudkan cita-citanya, Masdar Hilmy menggunakan pendekatan filsafat untuk
mengkomunikasikan konsep yang dibangun. Pemaknaan terhadap suatu kata atau yang
biasa disebut dengan kajian etimologi, menjadi pondasi awal untuk membangun
konsep. Dengan adanya pengkajian mengenai ”kata” ini, maka akan mengara pada
cara baca terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam
mengelaborasi pemahaman yang melekat di umat muslim pada umumnya, Masdar Hilmy
menggunakan pendekatan fenomenologi. Ada fenomena yang menarik pada umat Islam
mengenai cara pandang. Banyaknya diskursus yang bergejolak, perpecahan antar
umat se-agama, yang bermuara pada cara pandang.
Paling
tidak, dua pendekatan diatas yang terlihat dominan dalam pengkajian buku Masdar
Hilmy. Mungkin ada pendekatan lain pula yang digunakan oleh penulis.
THE
RESULT OF RESEARCH/THE CONCLUSION
Bisa dikatakan bahwa hadirnya buku
ini untuk memberikan pandangan baru mengenai misi profetik. Penulis menjelaskan
bahwa misi profetik bisa dicapai dengan dua hal; membebaskan agama lebih
dahulu, lalu mengontruksi agama yang membebaskan. Musuh yang melekat dalam diri
agama, berupa cara pembacaan terhadap agama yang sempit, dalam banyak hal
justru lebih berbahaya ketimbang musuh di luar dirinya. Disinilah letak
pentingnya pembacaan agama yang profetik guna menghadapi berbagai persoalan
kontemporer yang makin rumit dan menantang.
Pembebasan Agama
Objek sekaligus subjek
keberagamaan profetik adalah umat manusia secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Persoalan pembacaan terhadap agama justru sering menghalangi tercapainya misi
profetik agama itu sendiri, yakni menjadikan mereka humanum (manusia
sejati). Umat manusia, melalui pembacaan terhadap realitas agamanya, sering
berbuat kerusakan yang merugikan manusia lain. Pembacaan terhadap agamanya masi
teosentris (manusia untuk agama), belum antroposentris (agama untuk manusia).
Cara pembacaan seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai pembacaan yang
terbebaskan.
Pembacaan agama yang
antroposentris, seperti ditegaskan Esack (1997), membawa apa dua implikasi. Pertama,
pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan harus manusia secara
keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan
aspirasi umat manusia secara keseluruhan, bukan sebagian atau segelintir dari
mereka.
Agama Pembebasan
Misi profetik Nabi yang
paling utama adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusi dari segala
bentuk belenggu dan ketertindasan. Dengan begitu, Nabi adalah seorang pembebas
bagi umatnya. Dalam proses pembebasan ada proses transformasi, pemindahan, atau
perubahan dari kondisi yang tidak diinginkan menjuju kondisi yang diinginkan.
Inilah yang dilakukan oleh Nabi kepada masyarakat Arab pada awal-awal masa
kenabiannya.
Dalam pandangan Engineer
(1990), pembacaan terhadap perjalanan (sirah) Muhammad akan menghasilkan
tiga jenis pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural. Sebelum
Muhammad diutus Allah, struktur masyarakat Arab dikenalkan amat feodal dan paternal
yang selalu melahirkan fenomena penindasan. Islam turun membawa pesan
egalitarian di semua bidang kehidupan. Islam yang dibawa Muhammad tidak lagi
mengenal polarisasi miskin-kaya, lemah-kuat, penindas-tertindas,
penguasa-dikuasai, dan seterusnya. Tidak ada lagi perbedaan manusia berdasar
warna kulit, ras, suku atau bangsa. Yang membedakan mereka bukan hal-hal yang
bersifat fisik, tetapi nilai keimanan dan ketakwaannya (Q.S. 48:13).
Konsep pembebasan yang
dicetuskan 14 abad lalu itu amat revolusioner, bukan saja bagi masyarakat Arab,
tetapi umat manusia secara keseluruhan yang cenderung bertindak rasis dan
diskriminatif terhadap sesama. Konsep ini amat relevan diangkat kembali ke
dalam konteks kehidupan mutakhir yang tengah menghadapi krisis kemanusiaan yang
berawal dari arogansi rasial, etnik dan budaya. Artinya, dengan beragama kita
hilangkan kemiskinan, kebodohan dan kedzaliman. Bukan sebaliknya.
Kedua, keadilan ekonomi. Sejak diturunkan,
Al Qur’an amat menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua, bukan untuk
sekelompok orang. Ia amat menentang penumpukan dan perputaran harta pada
orang-orang kaya saja (Q.S. 59 : 7), sementara orang miskin selalu tertindas
secara struktural dan sistemik. Untuk keperluan ini, Al Qur’an juga
menganjurkan urang berupaya menaffkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin
(Q.S. 2 : 219).
Ketiga, sikap terdahap orang lain.
Keterbukaan, toleransi dan respek pada agama lain merupakan elemen liberatif
lain dalam Islam. Al Qur’an telah membuat diktum secara tegas, tidak ada pemaksaan
dalam beragama (Q.S. 2 : 256), bagimu agamamu, bagiku agamaku (Q.S. 109:6) dan
Al Qur’an telah mengajarkan penghormatan kepada semua nabi yang diturunkan
Allah ke dunia (Q.S. 4 : 150-151).
THE CONTRIBUTION TO
KNOWLEDGE
Buku ini lahir sebagai partisipasi
penulis untuk menghadirkan dimensi yang berbeda dalam upaya pembacaan atas
realitas agama, yakni pembacaan keagamaan yang profetik. Penulis meyakini bahwa
cara-cara pembacaan terhadap realitas teks suci semacam ini perlu dikembangkan
secara lebih massif agar kehadiran agama-agama di dunia, khususnya di Tanah
Air, bisa menjadi solusi bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, bukan malah
sebaliknya : menjadi bagian dari persoalan kemanusiaan.
THE BOOKREVIEWER CRITIQUE TOWARD THE BOOK
Sedikitnya ada tiga catatan ketika membaca buku ini,
yaitu:
Pertama, segmentasi yang tidak jelas bisa menyesatkan pembaca
dalam kebingungan. Istilah-istilah yang digunakan banyak yang sulit di cerna.
Mungkin bagi sebagian orang tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi kebanyakan
orang, istilah yang digunakan bisa menghambat proses pencernaan terhadap
substansi nilai yang ditawarkan penulis. Bahkan ada diantanranya istilah yang
tidak baku, tidak ada dalam kamus ilmiah dan kamus besar bahasa indonesia.
Kedua, koherensi antar bab dengan bab
lain, atau sub bab dengan sub bab lain, terkesan kurang terlihat. Hal ini
dikarenakan buku ini terdiri dari kumpulan artikel-artikel lepas yang dimuat
secara terpisah di media massa dan jurnal-jurnal akademis.
Ketiga, banyak terlihat repetisi atas poin-poin tertentu, hal
ini karena masing-masing tulisan mempresentasikan karakter dasar penulis yang
dihadirkan di tiap-tiap tulisan.
THE REFERENCES
Hilmy, Masdar. 2008. ISLAM
PROFETIK Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik. Yogyakarta:
Kanisius.
Kuntowijoyo. 2006. ISLAM
SEBAGAI ILMU Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.