Mohon Maaf, Artikel dalam Blog Ini Akan Kami Lanjutkan Pada Blog Kami Lainnya. Bagi Anda yang Berkenan Membaca Artikel Ekonomi Islam, Mari Berkunjung di artikelekis.blogspot.com. Blog Baru Kami, Insy akan Difokuskan untuk Membahas Seputar Ekonomi Islam. Mulai Saat Ini, Blog Ini Tidak Akan Kami Update.
Monday, February 13, 2012

Pengantar Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah


PENDAHULUAN
Perkembangan bank dan Lembaga Keuangan Syariah mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas maupun jenisnya. Bank Mualamat Indonesia yang lahir pada tahun 1992 merupakan Bank Syariah pertama di Indonesia. Hingga bulan Februari 2012 Bank Syariah yang ada di Indonesia tercatat sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS)[i]. Selain Bank Syariah, adanya Asuransi Syariah TAKAFUL yang didirikan pada tahun 1994[ii] juga ikut menghiasi dunia baru Lembaga Keuangan Syariah yang ada di Indonesia. Bisa dibilang, kedua lembaga tersebut merupakan perintis Lembaga Keuangan Syariah yang ada di Indonesia.
Lembaga keuangan syariah dituntut harus bersaing sengan system konvensional yang cenderung lebih sederhana[iii] serta kondisi masyarakat yang telah memiliki pemahaman yang mapan. Masyarakat telah terbiasa dengan istilah “bunga”, “kredit”, “dana sebraka” serta terminologi lain yang telah melekat dalam benak mereka. Terlebih penguasaan pasar yang sangat kuat, membuat para pelopor lembaga keuangan syariah sempat memiliki keraguan dalam menjalankan bisnis berbasis syariah. Akan tetapi, krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Pada saat itu, banyak bank konvensional mengalami kebangkrutan yang mengakibatkan diambilnya langkah likuidasi. Hal itu dikarenakan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap suku bunga. Berbeda halnya dengan lembaga keuangan syariah yang tidak memiliki ketergantungan terhadap tingkat suku bunga. Sehingga pada saat itu, Bank Muamalat Indonesia mempu bertahan sekaligus membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam merupakan system yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan.
Dilihat dari segi produk, lembaga keuangan syariah cenderung lebih kompleks. Hingga kini, setidaknya Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sebanyak 83 fatwa terkait produk serta mekanisme operasional bank syariah. Karenanya, untuk menjaga transparansi serta akuntabilitas pengelolaan dana di Lembaga Keuangan Syariah perlu peran dari pihak lain. Pesatnya pertubuhan LKS di Indonesia, tidak terlepas dari peran IAI dan Bank Indonesia (BI) yang turut mendorong perkembangan tersebut dengan merumuskan berbagai pengaturan Akuntansi dan Auditing. Awalnya, IAI dan BI mendorong penyusunan Standar Akuntansi Keuangan bagi Industri Perbankan Syariah. Hal ini diwujudkan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang juga berisi rumusan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah (KDPPLKBS) pada tahun 2002 serta Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) pada tahun 2003[iv].
Dalam perjalanannya, PSAK Nomor 59 yang hanya memiliki ruang lingkup yang terbatas hanya industri Perbankan Syariah, antara lain: Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), tidak dapat digunakan untuk LKS lain, bahkan Baitul Mall Wattamlik (BMT) yang sebenarnya memiliki karakter yang hampir sama dengan industri Perbankan Syariah. Padahal beberapa akan yang diatur dalam PSAK tersebut seperti Murabahah, Salam, Istishna, Ijarah, Mudharabah, Musyarakah, Rahn, dan Qardh bisa diterapkan pada LKS lain seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, serta obligasi syariah[v]. Oleh karenanya, pada tahun 2006 IAI mulai berinisiatif untuk melakukan revisi terhadap PSAK tersebut dengan PSAK Syariah yang bertujuan untuk memperluas ruang lingkup pemberlakuan Standar Akuntansi Keuangan yaitu semua entitas baik konvensional maupun syariah baik yang bersifat komersial maupun nirlaba yang menerapkan transaksi syariah pada kegiatan operasionalnya.

Ada suatu perubahan luar biasa dalam bidang ilmu akuntansi untuk beberapa dekade belakangan ini. Sebelum tahun 1970-an ada anggapan tentang akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktek yang bebas dari nilai (value-free) sudah mulai digoyang keberadaannya. Anggapan tersebut sejak lama mendominasi sebagian besar akuntan dan para peneliti di bidang akuntansi. Keadaansemacam ini semakin kuat karena adanya kecenderungan perilaku masyarakat yang terbawa oleh arus era informasi dan globalisasi.
Pada era informasi dan globalisasi dalam bidang akuntansi ada upaya harmonisasi praktek-praktek akuntansi. Hal ini berarti ada kehendak untuk memberlakukan praktek-praktek akuntansi secara seragam seluruh dunia. Dengan kata lain, nilai-nilai lokal praktek akuntansi -yang mungkin sangat berbeda dengan praktek dunia internasional-sedapat mungkin dieliminasi karena keberagaman praktek akuntansi di setiap negara dianggap menyulitkan dalam menafsirkan laporan keuangan, atau praktek akuntansi yang beragam itu tidak dapat diperbandingan (uncomparable)[vi].
Kasus ini mengundang reaksi banyak kalangan, sehingga muncullah pandangan-pandangan yang bersifat pro dan kontra. Mereka yang berpandangan kontra mengecam bahwa tindakan untuk melakukan harmonisasi merupakan tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai lokal. Mereka justru melihat bahwa sebetulnya akuntansi adalah suatu bentuk pengetahuan dan praktek yang banyak ditentukan lingkungannya (non value-free). Bahkan ada yang mengatakan akuntansi adalah "anak" yang lahir dari budaya setempat (lokal).
Pandangan kedua, memang secara eksplisit menolak pandangan pertama yang bersifat fungsionalis dan positivistik, kalau ditelusuri ke belakang akar pemikiranya berasal dari August Comte. Pemikiran ini memiliki sifat reduksionis, yaitu menghilangkan kandungan nilai yang seharusnya terkandung dalam ilmu pengetahuan dan praktek akuntansi. Keringnya nilai ini menyebabkan masyarakat bisnis, ketidakseimbangan tatanan sosial, dan kerusakan lingkungan terjadi.
Tujuan utama Syariah adalah mendidik setiap manusia, memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia di dunia maupun di akhirat. Syariah mengatur setiap aspek kehidupan umat Muslim, baik politik, ekonomi dan sosial dengan menjaga keyakinan, kehidupan, aqal, dan kekayaan mereka. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh oleh Ibn Al-Qayim Al-Jawziyyah, bahwa basis Syariah adalah kebijakan dan kesejahteraan masyarakat di dunia ini dan di akhirat kelak. Dengan kata lain, Syariah adalah berkenaan dengan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial, politik dan filsafat ekonomi masyarakat tersebut[vii]. Tujuan akuntansi Syariah akan mencapai tujuan yang lebih luas tentang keadilan sosio-ekonomi (al-falah) dan mengakui bentuk ibadah. Prinsip-prinsip ini menunjukkan pada baik aspek teknis maupun kemanusiaan yang harus diturunkan dari Syariah. Aspek teknis dalam akuntansi Syariah adalah menunjuk pada konstruk akuntansi yang berhubungan dengan otoritas dan pelaksanaannya. Jelasnya masalah konstruk berhubungan dengan pengukuran dan penyingkapan, prinsip-prinsip sebagai berikut: zakat, bebas bunga, transaksi bisnis yang dihalakan dalam hukum Islam, harus diyakini. Penyingkapan konstruk akuntansi tersebut perlu menunjuk pada kewajiban lain apa yang digariskan Syariah sehubungan dengan upaya pemenuhan zakat, seperti: sadaqah. Sedangkan konstruk akuntansi yang berhubungan dengan masalah otoritas dan pelaksana, didasarkan pada prinsip-prinsip seperti: taqwa, kebenaran dan pertanggungjawaban. Ini merupakan bentuk fondasi dasar yang mempengaruhi nilai-nilai akuntan Muslim dan manajer yang juga akan dapat diamati melalui aktivitasnya.

Ukuran besar-kecilnya suatu organisasi bisnis sangat tergantung pada nilai assetnya. Dengan kata sederhana, bahwa asset perusahaan memiliki nilai yang lebih tinggi pada akhir periode dibandingkan pada awal periode, tanpa adanya tambahan modal dari pemilik. Hal ini akan menghasilkan keuntungan sehingga dapat menambah nilai aset. Akan tetapi, penilaian aset saat ini menghadapi beberapa masalah, kecuali jika situasinya amat simple, seperti jika kita menilai aset tetap.Perhitungan current assets yang akan di-covert dalam kas periode jangka pendek, yang seperti ini dapat dianggap sebagai persediaan yang dapat diterima atau dapat dijual dan juga tidak dapat pose banyak masalah. Hal seperti ini dapat ditunjukkan pada net realizable value-nya yang telah menjadi konsensus para akuntan. Tetapi penilaian fixed asset, intangible asset atau asset yang likely di-coverted menjadi cash over periode jangka panjang dari time present serval masalah penilaian. Para akuntan memiliki berbagai metode yang diusulkan, yang dapat dikategorikan menjadi tiga kategori:
  1. Exchange output values, current output prices, discounted future cash receipts or service potential, current cash equivalents cash and liquidation values;
  2. Exchange input values such as historical costs, current input cost and discounted future costs; and
  3. Standard cost such as the lower of cost or market valuation[viii]
Dalam akuntansi islam, di mana akuntansi harus mengacu pada aturan dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Dari kedua sumber aturan pokok agama tersebut mengatur bentuk-bentuk hubungan Allah dengan manusia, manusia dengan manusia dan manusia dengan mahluk lainnya. Bentuk-bentuk hubungan itu akan menjadi dasar utama untuk merumuskan posisi perusahaan terhadap manusia dan masyarakat islam. Berdasarkan pembahasan di atas, mengenai posisi perusahaan bagi seorang muslim dan masyarakat islam, maka perusahaan harus benar-benar terpisah dari pemilik. Kemudian perusahaan harus jelas keberlanjutannya dalam rangka memenuhi kemanfaataanya bagi masyarakat[ix]. Untuk itu entitas yang perlu dipertimbangkan adalah:
Aktiva = Sumber Dana Waktu Terbatas + Sumber Dana Waktu Tidak Terbatas +Akumulasi Marjin Keberlanjutan Usaha

Dalam konsep entitas islam tersebut, perusahaan merupakan unit yang terpisah baik secara ekonomi maupun hukum dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pemberi sumber dana waktu terbatas dan sumber dana waktu tidak terbatas. Sumber dana waktu terbatas dalam konsep akuntansi konvensional sebagai hutang, dan sumber dana waktu tidak terbatas sebagai setoran modal pemilik. Dalam konsep entitas akuntansi islam, seperti telah disebut di atas, bahwa perusahaan bukan sebagai subordinat pendiri perusahaan (pemegang saham). Selain itu, kelebihan pendapatan di atas beban-beban usaha, selama ini disebut sebagai laba usaha, dalam akuntansi islam ini digunakan istilah margin keberlanjutan usaha. Istilah itu sebagai konsekuensi logis dari tujuan pendirian perusahaan dalam masyarakat islam, yaitu keberlanjutan usaha. Pendirian perusahaan bukan untuk kepentingan sesaat tetapi kepentingan jangka panjang untuk melayani masyarakat Islam. Kumpulan atau akumulasi margin keberlanjutan usaha bukan termasuk dalam komponen sumber dana tidak terbatas waktunya, atau sumber dana dari pendiri perusahaan, tetapi terpisah, dan dana itu sesuai dengan tujuan pendirian perusahaan.

lembaga keuangan adalah lembaga yang menjalankan aktivitas ekonomi atau keuangan dalam bentuk aset-aset keuangan. Definisi lain menegaskan bahwa Lembaga Keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama berbentuk aset keuangan (finacial assets) atau tagihan (claims), seperti saham dan obligasi. Dari dua pernyataan diatas bisa disimpulkan bahwa suatu lembaga yang dalam operasi sehari‐harinya menjalankan jasa dibidang keuangan, yaitu berupa perantara (Intermediasi) dari pihak yang surplus (kelebihan uang) dan pihak yang difisit (kekurangan uang), kepada sektor rumah tangga, sektor swasta, maupun sektor pemerintah. Lembaga keuangan syariah bisa diartikan lembaga yang dalam operasi sehari‐harinya menjalankan jasa dibidang keuangan, yaitu berupa perantara (Intermediasi) dari pihak yang surplus (kelebihan uang) dan pihak yang difisit (kekurangan uang), kepada sektor rumah tangga, sektor swasta, maupun sektor pemerintah dengan menggunakan syariah sebagai landasannya. Dalam UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008 ditegaskan bahwa beberapa lembaga yang tergolong LKS diantaranya adalah Bank Umum Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dan BMT.
  • Bank Umum Syariah (BUS)[x]. adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  • Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)[xi]. Adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  • BMT adalah konsep industri Perbankan Syariah yang menekankan adanya konsentrasi usaha perbankan yang tidak hanya mengelola unit usaha bisnis saja, namun juga mengelola unit sosial yang memiliki fungsi intermediary unit antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana[xii].
Dalam perekonomian Syariah seharusnya tercakup pula sistem akuntansinya. Bagaimana teori akuntansi Islam bisa dikembangkan? Dari pelajaran tentang konstruksi teori-teori akuntansi konvensional ada sejumlah approach yang bisa ditempuh, seperti yang dikategorikan oleh Belkaoui (1992)[xiii]. Belkaoui memilah-milah cara pendekatannya dengan mengkategorikannya menjadi “tradisional,” “regulatory” dan yang “lain-lainnya.” Kategori terakhir ini termasuk cara-cara pendekatan peristiwa (event), perilaku (behavioral), sistem informasi manusia dan prediktif-positif, meski di sana-sini ada ketidakjelasan pokok pikiran akibat tumpang tindihnya kategori-kategori tersebut. Namun pula ada pendekatan induktif-empiris yang diperkenalkan Whittington (1986) yang merupakan upaya untuk mengembangkan suatu teori akuntansi berdasarkan generalisasi fenomena empiris. Pendekatan ini pula yang ditempuh oleh badan-badan akuntansi profesional di Amerika dan Inggris, seperti AICPA dan CCAB, di mana ada berbagai standar yang ditetapkan guna bisa mengatur praktek-praktek akuntansi.
Dalam kurun dua dekade terakhir, teori induktif-empiris telah masuk ke dalam teori akunting positif (PAT), di mana para penganjurnya, Watts & Zimmerman (1986), berargumentasi bahwa teori akuntansi haruslah positif. Itu untuk menjelaskan apa, dan membantu memprediksi, peristiwaperistiwa masa mendatang. Bukan berusaha berkhotbah tentang apa yang seharusnya dilakukan. Inilah yang telah mendorong riset pasar modal menjadi mainstream dalam akunting. Namun kemudian pendekatan regulatory mengikuti pula penerapan paradigma keputusan-kegunaan. Kritik tajam terhadap PAT lalu bermunculan (antara lain Christenson, 1983;Tinker & Puxty, 1995).
Dari titik pandang Islam, meski tetap harus pula dipertimbangkan cara pengambilan keputusan-keputusan strategisnya, hal tersebut, pertama, tak bisa menjadi pengganti bagi teori normatif-deduktif karena antara lain suatu situasi positif bisa jadi merupakan penyimpangan dari pemahaman normatif tentang Islam, sehingga tak bisa dijadikan landasan bagi pengembangan suatu teori. Lain dari itu, kedua, Islam telah memiliki prinsip-prinsip etika dan perilaku secara abadi, dan dengan demikian approach yang tak mengindahkan prinsip-prinsip tersebut tak akan bisa mewujudkan suatu masyarakat Islam. Point pertama tersebut khususnya benar jika dilihat bukti bahwa sekularitas dipisahkan dari hal-hal keimanan dalam kehidupan Barat, yang dampaknya juga kembali mengenai lingkungan Islam. Prinsip dan kebiasaan-kebiasaan akunting konvesional yang berasal dari approach empiris-deduktif tampak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Gambling & Karim, 1991;Khan, 1994a; Adnan & Gaffikin, 1998). Meski begitu, dengan kecenderungan tetap dipraktekkan dan dapat diterima secara umum sekarang, mengakibatkan adanya salah analis sehingga konsep akuntansi konvensional dipandang cocok untuk Islam. Hal sama dapat terjadi jika teori akuntansi Islam dikembangkan melalui pendekatan empiris-deduktif.
Dari perspektif Islam, salah satu penggunaan yang mungkin untuk pendekatan positif ialah dalam menentukan konsesus dan kesepakatan atas berbagai tafsir prinsip-prinsip Syariah. Dalam Islam, di mana prinsip tak dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan lebih didasarkan pada penafsiran, berbagai aturan untuk suatu isu bisa sampai ke tujuannya secara bersamaan. Oleh karenanya Muslim biasanya akan mengambil opini mayoritas orang yang berpengetahuan untuk itu (Jumhur) sebagai yang paling otentik. Dengan begitu, riset positif yang bertujuan menemukan persepsi kaum ulama, sarjana dan mereka yang berilmu lainnya (termasuk para akuntan?) akan sangat berguna dalam membentuk opini mayoritas untuk suatu isu. Dalam pendekatan deduktif, prinsip-prinsip teoritis akuntansi secara logis diperoleh lewat deduksi berbagai asumsi dari aksioma atau prinsip-prinsip awalnya (Whittington, 1986). Pendekatan “true income” dalam teori akunting merupakan bentuk paling awal approach deduktif. Pendekatan ini berusaha menyelaraskan antara laba akuntansi dengan laba ekonomi yang menjadi pegangan para ekonom, dan dengan begitu sangat bergantung pada teori ekonomi. Namun Gambling dan Karim (1991) berargumentasi bahwa konsep income ekonomi tak bisa diterima dalam perspektif Islam karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif Barat. Misalnya, model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu, yang dinyatakan Gambling dan Karim sebagai hal yang tak ada dalam Islam. Atas dasar ini, bagian dari teori akunting deduktif yang berlandasan teori ekonomi konvensional tampak bukan sebagai model yang cocok untuk menciptakan teori akuntansi Islam.
Gambling dan Karim (1991) menyarankan approach normatif deduktif dalam penetapan standar-standar akunting karena Muslim harus mematuhi Syariah baik dalam aspek sosial maupun ekonomi kehidupan mereka. Pendekatan ini menurut mereka mencakup bagaimana memahami tujuan-tujuan laporan keuangan, rumus-rumus akuntansi dan definisi konsep-konsep prinsip Syariah. Ini akan membentuk dasar bagi kerangka struktural yang akan menjadi rujukan pengembangan prinsip-prinsip akuntansi. Ini adalah metodologi terbaik untuk sampai pada sebuah teori akuntansi Islami, karena prinsip atau aturan manapun yang didapat akan sejalan dengan pandangan serta nilainilai Islam. Lebih jauh, akuntansi teristimewa sangat penting bagi para investor Muslim, katakan misalnya dalam aturan bisnis Mudharabah atau Musharakah, karena larangan riba dalam Islam membuat mereka tak bisa mengharapkan pendapatan pasti dari modal yang telah dikeluarkan, tak pandang bagaimanapun kinerja perusahaan investasinya. Oleh karenanya evaluasi atas hasil investasi mereka tergantung pada konsep akuntansi di luar Islam, karena tak adanya sumber informasi lain.
Karim (1995) menawarkan dua metode di mana akuntansi Islami akan bisa tercapai. Pertama, tetapkan sasaran-sasaran berlandasan pada prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Pertimbangkan sasaran-sasaran tersebut dan bandingkan dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang ada. Kedua, mulai dengan sasaran-sasaran yang ada dalam pemikiran akuntansi kontemporer, kemudian bandingkan dengan Syariah, lalu terima yang sejalan dengan Syariah dan tinggalkan yang tidak sejalan. Lalu, kembangkan hasil-hasil unik yang menjadi temuannya. AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions) sejak 1996 menerapkan cara pendekatan yang kedua tersebut. Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Ditegaskan, cara pendekatan tersebut sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang hal-hal yang diperbolehkan (ibaha, permissibility) bahwa segala sesuatu diizinkan kecuali untuk hal-hal yang jelas dilarang Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI. Salah satu faktor kunci yang membedakan institusi-institusi keuangan Islam ialah perlunya mereka memperlihatkan kepatuhan (compliance) terhadap Syariah dalam segala aktivitas mereka. Di sini kurang adanya konsensus mengenai apakah transaksi-transaksi atau aktivitasaktivitas tertentu telah dipatuhi. Hal ini bisa menyebabkan kebingungan di antara para praktisi dan customer, selain akan membatasi penerimaan dan pengakuan lebih luas akan konsep tentang keuangan Islam. Industri keuangan Islam pun dengan demikian hanya “dikendalikan” oleh sedikit pakar terkemuka Syariah yang kerap bekerja untuk bank-bank berbeda atas penugasan komite Syariah. Kondisi ini juga akan bisa membatasi inovasi produk pengetahuan tentang Syariah. Ujung-ujungnya ialah menunjukkan diri patuh terhadap Syariah akan sulit karena institusi-institusi yang berbeda punya model-model governance mereka sendiri. Mereka menggunakan itu untuk menetapkan dan menguji kepatuhan mereka.

Munculnya lembaga atau perusahaan yang berbasis Syariah, secara langsung menuntut adanya perangkat akuntansi perusahaan yang berdasarkan Syariah. Hingga saat ini akuntansi Syariah masih mencari bentuk. Meskipun begitu, apa yang dilakukan oleh Iwan Triyuwono telah membuka wacana dan upaya merancang bentuk akuntansi Syariah dengan metafora zakat. Hal inilah, yang penulis kira paling cocok. Karena Islam selalu mengedepankan zakat dan bagi hasil sebagai pilar dan tujuan akhir ekonomi. Masih quo-vadisnya bentuk akuntansi Syariah dan telah beroperasinya bisnis berbasis Syariah tentunya akan menuntut adanya praktek akuntansi yang dapat mengkover persoalan-persoalan ekonomi dan akuntansi yang sesuai dengan Syariah, termasuk aspek penilaian aset dalam akuntansi Syariah. Untuk mencapai hal tersebut, maka kita tidak dapat menafikan keberadaan akuntansi konvensional. Karena ada beberapa aspek yang masih dapat digunakan untuk kerja akuntansi Syariah. Selama belum ditemukan bentuk dan cara yang sesungguhnya sesuai dengan ketentuan Syariah. Sehingga, tawaran untuk menggunakan current cash equivalent merupakan jawaban sementara yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian aset menurut akuntansi Syariah.


[i] http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Keuangan+Publikasi+Bank/Bank/Bank+Umum+Syariah/
[ii] http://asuransitakaful.net/tentang-pt-asuransi-takaful-keluarg/sekilas-takaful/
[iii] Rifqi Muhammad, 2008:34
[iv] Ibid,
[v] Ibid,
[vi] Muhamad, 2002:76
[vii] Ibid, 2003:82
[viii] Ibid,
[ix] Jaka Isgiyarta, 2009:76 
[x] UU No. 21 Tahun 2008:13
[xi] Ibid,
[xii] Rifqi Muhammad, 2008:35
[xiii] dikutif dari majalah Akuntansi Indonesia edisi ke II tahun 2007:8
 
;